![]() |
Ilustrasi bangunan pendidikan formal. Sumber: http://gallery.dinpendikpkp.go.id/ |
Ratusan tahun sudah R. A. Kartini
meninggalkan bangsa ini. Selama itu pula diskriminasi atas kaum wanita makin
memudar walaupun belum sepenuhnya hilang. Kini tak ada lagi larangan bagi kaum
wanita untuk terus melanjutkan pendidikan hingga batas kemampuan yang ia
miliki.
Kesamaan
hak dalam pendidikan seakan dibarengi dengan kesamaan hak di bidang lain,
misalnya saja karir. Posisi-posisi penting di
negeri ini pun sudah tak asing lagi dengan sosok wanita. Tengok saja Megawati
yang pernah mencicipi posisi strategis sebagai orang nomer satu di Indonesia. Tri
Rismaharini yang tengah menjabat sebagai Wali Kota Surabaya juga patut menjadi
contoh yang nyata atas emansipasi wanita yang terjadi.
Namun,
apakah hak-hak yang tiap tahun diperjuangkan
tersebut sudah dibarengi dengan pemenuhan wanita terhadap tanggung jawabnya?
Nyatanya kini wanita lebih cenderung memilih berkarir di luar ketimbang harus
bersusah payah mengurusi keluarganya sendiri. Padahal kodrat seorang wanita sejatinya
adalah mengurusi keluarga, bukan menafkahi.
Pendidikan seorang anak yang
mustinya dimulai dari genggaman seorang ibu kini telah beralih ke
bangunan-bangunan pendidikan formal. Padahal R. A. Kartini mengharapkan wanita
menjadi lebih cerdas agar kelak dapat mendidik anaknya dengan baik. Seperti
yang ia tuliskan pada Tuan
Prof. Dr. G. K. Anton dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902, “Ibulah yang
jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan
kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang
membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah
supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu”.[1]
Kelengahan
wanita terhadap kewajibannya seakan menjadi hal yang lumrah terjadi. Bertameng
emansipasi, secara tak sadar mereka telah menghianati dirinya sendiri. Seyogianya,
tugas seorang wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa yang gemilang tak
ditinggalkan begitu saja hanya karena emansipasi yang tak berimbang. Tak hanya
hak yang harus diperjuangkan, tetapi juga kewajiban tetap harus konsisten
dilakukan.
Bila
R. A Kartini detik ini masih bernafas apakah ia akan tetap bangga melihat
perubahan hidup kaumnya yang dulu diperjuangkan? Apakah persamaan hak seperti
itu yang memang ia cita-citakan?
Oleh: Risvani Nur Naratri
(Agrobisnis'14, Reporter LPM Agrica)
Posting Komentar
Silahkan berkomentar di situs persma-agrica.com