Petani di Jawa, khususnya Banyumas memiliki pedoman sebagai dasar mengetahui waktu
yang sesuai untuk bercocok tanam. Pedoman yang digunakan berupa sistem
penanggalan jawa kuno, yang dikenal dengan pranata mangsa. Seiring dengan
perkembangan zaman akan ilmu pengetahuan dan teknologi, petani berangsur-angsur
meninggalkan pranata mangsa. Masih adakah segelintir petani yang setia
mempertahankannya di tengah era globalisasi saat ini?
Sejak ribuan tahun lalu, pranata mangsa sudah
mulai digunakan masyarakat jawa dalam budidaya pertanian. Berawal dari kebiasaan masyarakat yang
terbiasa menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya. Pranata
mangsa diresmikan sebagai kalender jawa oleh Raja Surakarta pada 22 Juni 1855.
Bagi masyarakat jawa khususnya Banyumas, pranata mangsa dapat
diketahui melalui tanda-tanda alam seperti rasi bintang, iklim, angin, maupun
perilaku hewan sebagai pertanda petani dapat melakukan kegiatan usaha taninya, “Kalau mau musim kemarau biasanya ada binatang galempong yang bunyi nguing
nguing,” ujar Ir. Utomo, MP., Dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas
Jenderal Soedirman (25/7).
Toto, petani Karangwangkal, Purwokerto pengguna pranata mangsa menuturkan, pada tanaman jagungnya, dimusim kemarau
panjang sekalipun dapat diketahui melalui indikator pranata mangsa, “Kalau menggunakan mangsa bisa ketahuan ini musim panas atau musim hujan atau
musim yang tidak bagus untuk masa tanam,” jelas Toto (38). Perhitungan pranata mangsa, bagi petani yang sudah lama
menggunakannya dirasa cukup mudah. Hal ini dikarenakan mereka telah
menjadikannya sebagai tradisi selama bertahun-tahun. Sehingga penggunaannya
tidak menjadi kendala, “Gampang kok, perhitungannya sulit itu karena
petani-petani muda kurang belajar,” ujar Toto.
Senada dengan Toto, Ahmad Tohari sastrawan
yang juga budayawan Banyumas saat ditemui Agrica
dikediamannya memaparkan perhitungan mangsa sangatlah mudah “Mangsa hitungnya
gampang, misal Januari (bulan 1) ditambah 6 menjadi mangsa 7, kebalikannya
kalau bulan Juli (Bulan 7) maka dikurang 6 menjadi mangsa 1,” terangnya.
Sayangnya, saat ini sistem pranata mangsa
digunakan dalam lingkup yang terbatas. Hal ini disebabkan karena iklim yang
sulit dikendalikan maupun dimodifikasi serta hilangnya sebagian flora dan fauna
yang menjadi indikator penanda musim. Terkikisnya pranata mangsa juga datang
dari pelakunya, terputusnya regenerasi yang paham akan perhitungan pranata mangsa berakibat semakin jarangnya petani
yang menggunakan penanggalan jawa kuno ini.
Ahmad Tohari, menuturkan sejarah mulai
lunturnya pranata mangsa diawali oleh adanya perubahan pola agraris ke pola
industrial di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Dahulu, pola pertanian masih
menggunakan pola agraris dimana petani bercocok tanam hanya untuk memenuhi
kehidupan hidupnya sendiri, namun berangsur terjadi perubahan pola ke
industrial dimana petani dituntut bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri
namun juga memenuhi kebutuhan orang banyak. Tambahnya lagi, pada pola
industrial penggunaan pestisida sangat tak terkendali sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ekologi. Imbasnya, tahun 1962 terjadi malapetaka dahsyat yang
disebut malapetaka ekologi dimana Indonesia kebanjiran DDT
(Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) dari Amerika. DDT sebagai salah satu
pestisida sintetis untuk menanggulangi penyakit yang ditularkan vektor
serangga. Penggunaan DDT yang tak terkendali tersebut menyebabkan punahnya
beberapa spesies, “Penggunaan
pestisida sintetis berlebih berimbas pada hilangnya predator wereng dan musuh
alami lainnya,” ujarnya.
Tidak digunakannya lagi pranata mangsa mempengaruhi
penetapan pola tanam yang dilakukan petani. Kini, dalam usaha taninya, petani
hanya mengandalkan kebiasaan dan meraba-raba. Tidak dipungkiri ada beberapa
kelebihan, diantaranya, panen dapat dilakukan lebih banyak dibanding menggunakan pranata mangsa. “Kalo mangsa panen
padinya hanya 2 kali setahun, kalo tidak menggunakan mangsa kita bisa panen 3
kali,” ungkap Kuswanto (55), salah seorang petani di daerah Baturraden,
Purwokerto (24/7). Namun, Jalan alternatif ini dinilai kurang berhasil. Terbukti
dengan seringnya petani mengalami kendala kekurangan air di tengah-tengah
penanaman, “Penetapan kegiatan usaha tani dengan menggunakan
insting tidak selamanya benar, bisa saja keliru,” ungkap Utomo. Senada dengan Utumo, petani Banyumas, Sarto (42) mengatakan, sulitnya perhitungan pranata mangsa akibat
kondisi iklim yang tidak menentu, “Perhitungannya
susah karena iklimnya berubah-rubah,” ujarnya (24/7).
Ahmad Tohari (Budayawan Banyumas)
Ahmad Tohari (Budayawan Banyumas)
Teknologi semakin sering bersinggungan dengan
manusia. Hal ini menurut Utomo dapat menjadi solusi penggunaan pranata mangsa.
Meskipun pranata mangsa sudah banyak tidak digunakan lagi, masyarakat masih bisa menggunakan gatra iklim dimana
gatra iklim ini akan terus berlaku di tengah kondisi iklim yang berubah-ubah,
tidak seperti pranata mangsa yang sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, “Kita
gunakan saja gatra iklim yaitu dengan memperkirakan, mensubstitusi,
menyesuaikan dan memodifikasi iklim yang ada, sayangnya petani banyak yang
belum paham akan hal ini,”
ungkapnya.
Di sisi lain, pranata mangsa merupakan kearifan lokal yang seharusnya
dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat Banyumas. Menurut Ahmad Tohari,
pranata mangsa sebagai kearifan lokal masyarakat Banyumas yang sifatnya
dinamis. Apabila pranata mangsa sudah tidak efisien digunakan pada masa kini,
kearifan lokalnya masih dapat diterapkan dan dilestarikan, “Saya pikir tinggal
diambil kearifan-kearifan lokalnya saja, misalnya tidak menebang pohon
seenaknya,” pungkasnya.
Reporter : Santika Yani, Fika Puspita
Posting Komentar
Silahkan berkomentar di situs persma-agrica.com