Undang-Undang Republik Indonesia Nomor18 Tahun 2012 tentang Pangan, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai: “Kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan”. Kemudian
Kemandirian pangan didefinisikan sebagai: “Kemampuan negara
dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat”. Selanjutnya Kedaulatan Pangan
didefinisikan sebagai, “Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan
bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas
pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.
Pangan
dalam hirarki kebutuhan manusia adalah salah satu kebutuhan yang paling dasar
sehingga pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi setiap orang. Bahkan penyediaan pangan bagi bangsa dan
negara merupakan pilar utama dalam pembangunan nasional dan identik dengan
ketahanan nasional. Oleh karena itu, penyediaan pangan bagi bangsa dan negara
tidak bisa dinomorduakan. Pengalaman masa lalu menunjukkan, kekurangan pangan
tidak hanya dapat berdampak negatif pada kondisi sosial ekonomi tetapi juga
dapat menimbulkan instabilitas politik.
Ketahanan,
Kemandirian dan Kedaulatan Pangan Bangsa dan Negara Indonesia masih menghadapi
berbagai masalah pada tingkat makro maupun mikro. Sisi makro, upaya pengelolaan
Ketahanan, Kemandirian dan Kedaulatan pangan menghadapi tantangan utama pada
peningkatan optimasi pemanfaatan sumberdaya lokal dan peningkatan kapasitas
produksi pangan dalam keterbukaan ekonomi dan perdagangan global, agar produksi
pangan domestik dapat tumbuh seiring dengan perkembangan pemenuhan kebutuhan
pangan yang terus meningkat dalam jumlah, kualitas dan keragamannya ditengah
persaingan pasar internasional yang semakin terbuka. Sisi mikro, upaya
pemantapan menghadapi tantangan utama dengan masih besarnya proporsi penduduk
yang mengalami kerawanan pangan transien karena bencana alam dan musibah serta
kerawanan pangan kronis karena kemiskinan (Dewan Ketahanan Pangan, 2010).
Data
dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama kurun waktu 2005–2010
jumlah penduduk miskin berkurang dari 35,10 juta jiwa (15,97 % dari jumlah
penduduk) pada tahun 2005 berkurang menjadi 31,02 juta jiwa
(13,33 % dari jumlah penduduk) pada tahun 2010, atau rata-rata menurun sebesar
2,20 persen pertahun. Angka kemiskinan
tersebut didominasi oleh penduduk desa yang mayoritas penduduknya bekerja
disektor pertanian. Tahun 2010 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai
19,93 juta jiwa (16,56 %), dan perkotaan sebanyak 11,10 juta jiwa (9,87 %).
Meskipun mengalami penurunan, angka kemiskinan sebesar 31,02 juta jiwa masih
sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Singapura yang hanya 5,31
juta jiwa (2012) atau juga Malaysia dengan jumlah penduduk sebesar 28,3 juta
jiwa (tahun 2010).
Disisi
lain, terjadi ironiataukontradiksi dimana menurunnya jumlah
penduduk miskin di Indonesia periode tahun 2005–2010, belum memberikan indikasi
menurunnya jumlah penduduk yang rentan terhadap rawan pangan. Data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama kurun waktu 2005–2010, jumlah penduduk
yang rawan pangan meningkat dari 61,57 juta jiwa tahun 2005 menjadi 72,44
juta jiwa tahun 2010, atau meningkat sebesar 5,84 % per tahun. Kemudian jumlah penduduk
yang sangat rawan pangan meningkat dari 29,21 juta jiwa tahun 2005 menjadi 35,71
juta jiwa tahun 2010, atau meningkat sebesar 8,60 % per tahun. Sehingga bila ditotal, jumlah penduduk Indonesia yang rentan
terhadap rawan dan sangat rawan pangan berjumlah 108,15 juta jiwa atau sebanyak
44 % dari total penduduk Indonesia yang sebesar 245 Juta jiwa, sebuah angka
yang sangat besar.Ini menimbulkan PERTANYAAN BESAR: Bagaimana Ketahanan,
Kemandirian dan Kedaulatan Pangan Bangsa dan Negara Indonesia ? Tantangan dan
masalah yang tidak kecil, tidak mudah, dan tidak sederhana.
Kita
lihat kinerja sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang penting dan
strategis dalam Ketahanan, Kemandirian dan Kedaulatan Pangan. Sektor pertanian memiliki peran strategis
bagi: 1) Penyediaan pangan 245 juta penduduk Indonesia, 2) Penyedia 87 % bahan baku industri kecil dan
menengah, 3) Penyumbang14,72 % PDB, 3) Penghasildevisa negara US$ 43,37 M, 4) Menyerap 33,32 % total tenaga kerja, 5) Sumber utama (70 %) pendapatan rumah tangga
perdesaan, 6) Berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8
juta ton (Perpres No.61 tahun 2011)
(Sumber: Kementerian Pertanian, 2012).
Lalu, kinerja produksi pangan strategis sebagai
berikut: 1) Padi meningkat dari 66,469 juta ton
tahun 2010 menjadi 69,271 juta ton tahun 2013 (ARAM I), 2) Jagung meningkat
dari 18,327 juta ton tahun 2010 menjadi 18,838 juta ton tahun 2013 (ARAM I), 3)
Kedelai menurun dari 907,031 ribu ton tahun 2010 menjadi 847,157 tahun 2013
(ARAM I), 4) Ubi kayu menurun dari 23,918 juta ton tahun 2010 menjadi 23,627
juta ton tahun 2013 (ARAM I), 5) Populasi sapi potong meningkat dari 13,582
juta ekor tahun 2010 menjadi 14,824 juta ekor tahun 2011 6) Volume produksi
perikanan meningkat dari 6.119.731 ton
tahun 2004 menjadi 15.263.210 ton pada tahun 2012.
Terlihat, secara umum produksi pangan strategis
meningkat, dan terlihat “baik-baik saja”, akan tetapi melihat kenyataan
di masyarakat dimana terjadi gejolak harga pangan yang fluktuatif dan impor
komoditas panganpun meningkat tajam, menjadi “sebuah sinyal” ketidaktahanan,
ketidakmandirian, dan ketidakberdaulatan pangan Indonesia. Data impor komoditas
pangan menurut FAO seperti: 1) Beras meningkat dari 188.945 ton tahun 2005
menjadi 248.454 ton pada tahun 2009, 2)
Gandum atau terigu meningkat dari 5.092.474 ton tahun 2005 menjadi
5.553.777 ton tahun 2009, 3) Kedelai meningkat dari 1.086.180 ton tahun 2005
menjadi 1.314.620 ton tahun 2009, 4) Buah segar meningkat dari 53.672 ton
menjadi 106.057 ton tahun 2009, dan 5) Daging meningkat dari 19.940 tahun 2005
menjadi 67.909 ton tahun 2009 dan komoditas lainnya. Sebuah angkat yang besar, bukan hanya dari
jumlah yang diimpor, tentu angka yang sangat besar bila dilihat dari sisi
devisa yang tersedot untuk impor pangan tersebut.
Imbas lanjut dari ketahanan pangan yang permisif terhadap impor yang perlu
disadari bersama adalah: pertama, bahwa mengandalkan impor untuk ketersediaan
komoditas pangan domestik, apalagi komoditas pangan strategis, adalah berisiko
tinggi dan berbahaya. Ambil contoh beras dan gula: untuk beras diketahui bahwa
penawaran dan harganya di pasar internasional sangat tidak stabil. Hal ini bukan saja disebabkan kondisi iklim
dan lingkungan, melainkan lebih dari itu, pasar beras internasional bersifat
oligopoli. Kedua, permisifnya strategi dan kebijakan pangan kita terhadap impor
menyebabkan kita abai terhadap pentingnya diversifikasi pangan. Dengan mudahnya
pangan impor masuk maka insentif untuk terjadinya diversifikasi pangan menjadi
hilang.
Hal ini sebenarnya bisa
dihindari melihat besarnya potensi sumber daya Indonesia. Sebagaimana diketahui
bahwa Indonesia merupakannegara
yang memilikikeanekaragamanhayati yang besar, nomor 2 di dunia, memiliki 800 spesiestumbuhanpangan, + 1000 spesiestumbuhan medicinal, ribuanspesies microalgae, perikanan laut dan darat yang kaya.
Selain itu, untuk sumber pangan lainnya Indonesia memiliki: 77 jenissumberkarbohidrat, 75 jenissumberlemak/minyak, 26 jeniskacang-kacangan, 389 jenisbuah-buahan, 228jenissayuran, 40jenisbahanminuman, 110 jenisrempah-rempahdanbumbu-bumbuan (Sumber: Dr. Suhardi, 2000), dengan daya dukung lahan yang sesuai untuk
pangan dan perkebunan seluas 100,7 Juta Ha dengan potensi untuk ektensifikasi
seluas 36,7 juta Ha (Litbang, Deptan 2004).
Semua itu belum dikembangkan dan digali secara optimal, berkesinambungan
dan berwawasan kebangsaan untuk menjadikan Indonesia negara yang mandiri di
bidang pangan.
Keberhasilan dalam mewujudkan
kemandirian pangan, tentu bukan hanya tanggungjawab pemerintah, akan tetapi
harus didukung dan didorong oleh seluruh komponen bangsa. Pemerintah harus konsisten dengan kebijakan
serta implementasinya, kemudian seluruh komponen bangsa ikut serta
mewujudkannya, dengan kerja keras dan kerja cerdas. Bangsa dan negara yang maju, mandiri dan
berdaulat baik di bidang ekonomi maupun politik, akan sangat berisiko tanpa
didukung oleh ketahanan dan kemandirian pangan negara dan bangsa tersebut. Semoga Bangsa dan Negara Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Oleh: Tedy Dirhamsyah
(Ketua Umum
Alumni Fakultas Pertanian Unsoed, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sarjana
Pertanian Indonesia/PISPI, Doktor Candidat Ekonomi Pertanian UGM)
Posting Komentar
Silahkan berkomentar di situs persma-agrica.com