Dewasa ini, meluasnya perubahan
ekosistem tumbuhan mengakibatkan meledaknya populasi Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT). Tingginya populasi OPT dan penyakit
tumbuhan dapat mengakibatkan penurunan tingkat produksi tanaman. Untuk
mengatasi masalah tersebut penggunaan pestisida kimia sintetik menjadi jalan
alternatif bagi petani.
Pestisida kimia sintetik yang sering
digunakan adalah golongan insektisida. Selain banyak beredar di pasaran, pestisida ini dapat bekerja cepat untuk menekan laju populasi hama.
Penggunaan pestisida kimia sintetik
sebenarnya berdampak negatif terdahap ekosistem, seperti pencemaran
air, mengeraskan tanah, membunuh musuh alami dari hama itu sendiri bahkan
meracuni manusia. Apalagi jika
penggunaannya secara terus menerus dan dalam jangka panjang.
Karena bahaya yang ditimbulkan, maka
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan tanaman dengan menggalakkan program Pengendalian Hama
Terpadu (PHT). Kebijakan ini
tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995
menyatakan bahwa pemanfaatan agens pengendali hayati atau biopestisida termasuk
pestisida nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT.
Peraturan tersebut akhirnya menjadi
latar belakang munculnya pestisida nabati. Sesuai namanya, pestisida nabati ini
berbahan dasar tumbuhan. Kini pestisida nabati menjadi terobosan untuk membasmi hama
dan penyakit tumbuhan. Selain itu juga
berfungsi sebagai pupuk yang menyuburkan tanaman dan menjaga
keseimbangan ekosistem alam.
Pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida nabati perlu dikembangkan
dan ditindaklanjuti. Hal ini penting karena cara tersebut merupakan usaha
pengendalian yang sesuai dengan program PHT. “Pestisida
nabati sebenarnya lebih
murah, aman, mudah dibuat dan ramah
lingkungan,” ungkap Sutrisno, ketua Gapoktan
Desa Sawangan yang
sekaligus pelopor pertanian organik
(23/07).
Sebagai bentuk dukungan terhadap
kebijakan tersebut perlu adanya sosialisasi pada masyarakat. “Pestisida nabati digalakkan ke petani melalui
program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) dan Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT),” tutur Ratoto, S.P., Staff Bagian Pengelolaan Hama Terpadu Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan
Kabupaten Banyumas (25/07).
Proses Pembuatan Pestisida Nabati
Prinsip pembuatan
pestisida nabati ini pada dasarnya tumbuhan mengandung zat aktif yang digunakan
sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan OPT. “Tanaman punya senyawa sebagai zat
pengatur tumbuh dan bahan aktif untuk melindungi diri,” terang Sutriono (23/07). Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan
pembuatan pestisida nabati antara lain tembakau, daun sirih, jambe (pinang), nimba, sirsak, bawang,
cabai jawa, cengkih, lada, mahoni, pace, tuba.
Menurut
Prof. Loekas, dosen Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed, tanaman
yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan pestisida nabati yaitu tanaman
yang tidak terserang hama dan penyakit (tanaman yang sehat). Selain itu
memiliki
struktur yang tidak disukai hama,
misal berambut atau keras, memiliki bau yang tidak enak, serta memiliki rasa
yang tidak disukai serangga.
Proses
pembuatan pestisida nabati tergolong mudah dan menggunakan teknologi
sederhana. Oleh sebab itu
pestisida
nabati dapat
diproduksi oleh kelompok tani atau petani perorangan. Salah satu tanaman yang
sedang dikembangkan Sutriono untuk dibuat pestisida nabati adalah daun sirih dengan metode
rebus (ekstraksi) dengan air sebagai pelarutnya.
Di samping metode tersebut, pestisida nabati
juga dapat dibuat dengan metode fermentasi menggunakan
alkohol. Jika dibanding metode perebusan, metode fermentasi dengan alkohol lebih efektif. Alasannya karena semua
zat aktif dalam tanaman dapat larut dalam alkohol. Jika direbus ada beberapa enzim atau zat-zat
tertentu yang rusak karena tidak tahan panas.
Selain itu, dengan fermentasi dapat meningkatkan daya tahan terhadap
penyimpanan. Seperti yang dijelaskan Loekas, “untuk
menambah daya tahan pestisida nabati dapat dilakukan
fermentasi menggunakan alkohol.” (26/07).
Dibanding pestisida kimia sintetik,
pestisida nabati mudah
terurai di tanah sehingga tidak mencemari lingkungan. Namun kelemahannya ia tidak tahan lama menempel di tanaman (daya
lekat rendah). “Solusinya dengan dicampur labu siam untuk menambah daya lekat”,
tutur Sutriono.
Pestisida nabati yang
dihasilkan ini dalam formula cair. Cara pengaplikasiannya dengan mencampurkan 120 ml larutan
pesnab dalam 15 liter air, lalu disemprotkan ke bagian tanaman
yang terserang OPT. Pengaplikasian pestisida perlu mempertimbangkan kondisi
cuaca, kelembaban, dan sebagainya. “Diaplikasikan 15 hari sekali atau jika ada
tanda-tanda atau gejala penyakit dan serangan hama,”
ungkap Sutriono (23/07).
Saat ini, potensi pengembangan pestisida nabati
di Banyumas terbilang cukup baik. Terbukti dengan adanya Laboratorium Hama dan
Penyakit Tumbuhan di Linggarjaya, Jatilawang. Laboratorium tersebut memproduksi dan menerima pesanan pestisida nabati
dari kelompok tani atau petani perorangan. Selain itu, petani
di daerah Kebasen, Jatilawang, Rawalo, Wangon, Ajibarang, dan Kembranjen juga
memproduksi pestisida nabati sendiri meski
dalam skala kecil.
Meski penggunaan pestisida nabati
sangat bermanfaat, namun masih ada petani yang enggan menggunakan. Pembuatan
yang rumit dan prosesnya yang cukup panjang menjadi alasan petani enggan
beralih ke pestisida nabati. “Bikin
pestisida nabati mudah sih mudah, tapi repot harus numbuk, harus
meres. Kalau ada yang langsung jadi kenapa enggak,”
tutur Warso, petani daerah Sumbang (27/07).
Posting Komentar
Silahkan berkomentar di situs persma-agrica.com