Pertanian
merupakan sektor vital dalam keberlangsungan sebuah negara. Sebagai pejuang
pangan, petani bukanlah satu-satunya yang mempunyai peran. Penyelenggaraan
terhadap kebutuhan pangan dilakoni oleh berbagai macam profesi, dari mulai
masyarakat melalui proses produksi hingga distribusi. Ada juga pembuat
kebijakan, untuk menyelenggarakan pengaturan hingga pengawasan. Dibalik
suksesnya kemajuan pertanian, terselip peran segelintir orang yang membagikan
ilmunya untuk mengentaskan keterbelakangan pertanian lewat gerakan menyuluh yang
kemudian disebut penyuluh pertanian.
Petugas
Penyuluh Lapang atau yang lebih akrab terdengar dengan sebutan PPL
keberadaannya menjadi sangat penting. Hal ini, berkaitan dengan penyampaian
atau transfer teknologi kepada petani untuk kemudian diadopsi. Lebih dari itu,
penerapan teknologi-teknologi baru oleh petani diharapkan dapat memacu
produktivitas serta meningkatkan kesejahteraan petani, seperti yang diungkapkan
salah satu PPL yang ditemui Agrica di
kantor Bapeluh “Goalnya penyuluh itu
kan kesejahteraan petani,” ujar Johari (27/7).
Di
Kabupaten Banyumas, jumlah Petugas Penyuluh Lapang (PPL) yang tersedia hanya 96
PPL dari 367 PPL yang dibutuhkan.Hal ini menurut Johari dirasa kurang, tujuan
akhir untuk mensejahterahkan petani dapat tersendat oleh kendala kurangnya PPL.
Belum lagi permasalahan PPL dalam mengemban tugasnya.
Di
Desa Sawangan, Kecamatan Kebasen, PPL hanya datang sekali dalam kurun waktu
sebulan. PPL hanya datang menjelang musim tanam tiba. Hal ini diungkapkan
Sutriono (49) Ketua Gapoktan Jati Jaya “Paling-paling ya sebulan sekali, kalau
mau musim tanam,” ucapnya (23/7). Namun penuturan berbeda disampaikan oleh
Suharto, Ketua DPD Perhimpunan Penyuluh Pertanian (Perhiptan) Banyumas. Menurut
Suharto, seharusnya PPL dalam melakukan penyuluhan ke suatu desa dua kali dalam
seminggu “Sebenarnya satu minggu dua kali,” tutur Suharto.
Sementara
itu, Sutriono menambahkan metode penyampaian PPL di Desa Sawangan dirasa kurang
tepat dengan fungsi penyuluh. Metode penyampaian hanya secara teori saja dan
dilakukan di ruangan. “Metodenya nggak sesuai. Penyampaian materi ke petani itu
sebaiknya langsung ke lapang dan kita langsung terjun,” tuturnya. Hal ini
mengakibatkan kurangnya respon positif dari petani. Sebagian petani menerima
arahan PPL dengan baik, sebagian tidak menerima apa yang disampaikan PPL karena
hanya teori. “Petani di sini pasif, hanya beberapa yang punya konsep tapi kalah
sama kebijakan,” tambahnya.
Peran
PPL yang dirasa Sutriono, hanya sebagai perantara bantuan dari pemerintah, “PPL
bermanfaat hanya sebagai penyalur subsidi,” ucapnya. Menurutnya, ada tidaknya
PPL disini tidak begitu berpengaruh, “Untuk sementara saya masih setuju dengan
adanya PPL, seandainya tidak ada PPL di Banyumas bagian selatan saya sudah
punya rencana. Kalau ada PPL mau, kalau ngga ada ya bisa,” pungkasnya.
Staff
Bidang Penyuluhan Bapeluh Banyumas, Daryono, S.ST (51) membenarkan adanya
penyuluh yang bekerja hanya di ruangan. Namun, Daryono menampik tidak semua
penyuluh melakukan kegiatan tersebut setiap kali memberikan penyuluhan.
“Penyuluh ya kerjanya di lapangan. Misal menangani flu burung ya di kandang,
masa di ruangan? Cara menyemprot, masa di ruangan?” ujarnya (25/7).
Daryono
menambahkan, cara penyampaian masing-masing PPL berbeda, tergantung
karakteristik petani. Ia menyatakan PPL ditugaskan memperhatikan
kriteria-kriteria petani yang akan berhubungan langsung dengan PPL. Seperti
golongan perintis, golongan petani pengadopsi awal (early adopter), golongan penyerap awal (early majority). Golongan petani mayoritas lambat (late majority), serta golongan penolak
atau laggard.
Penggolongan
sasaran penyuluhan ini berpengaruh pada materi yang disampaikan PPL. Seperti
yang dirasakan Sandiarji (68), petani di Desa Bentul, Kecamatan Kebasen, Ia
sering tidak mengerti terhadap materi penyuluhan yang disampaikan PPL di
desanya. “Kalo lagi dijelasin enggak mudeng sama sekali soalnya sudah tua,”
tuturnya (23/7). Kurangnya tingkat
kepercayaan petani terhadap PPL juga dirasakan oleh Sandiarji. Sandiarji merasa
sebagai petani, Ia sudah mahir cara-cara bertani. Ia juga tidak merasakan peran
penyuluh secara langsung, bahkan tak pernah melihat adanya penyuluh di
lapangan. “Namanya pertanian dari dulu ya seperti ini,” pungkasnya.
Berbeda
dengan Sutriono dan Sandiarji, kepercayaan terhadap peran penyuluh masih dijaga
oleh Sainah (45), Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT), di Desa Kalisalak,
Kecamatan Kebasen. Di desa tersebut, secara rutin diadakan SLPTT (Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu). Sekolah Lapang (SL) merupakan praktik
kerja dari PPL. Sekolah ini dihadiri PPL dan para petani dengan tujuan
memberikan pengarahan kepada para petani. PPL yang datang rutin hanya satu
orang. PPL mengunjungi Desa Kalisalak delapan kali pertemuan setiap musim tanam
tiba, biasanya pada musim tanam padi dan kedelai.
Setelah
adanya penyuluhan di Desa Kalisalak tersebut, petani mau bergerak dan menerima
arahan. Ia pun mendukung ada PPL di desanya. “Petani mendukung adanya PPL
karena mencapai target terus, terjadi peningkatan hasil pertanian,” ujar Sainah
(23/7). Seperti halnya Duror, petani Desa Kalisalak, Ia menuturkan PPL membantu para petani di desa dalam
mengarahkan cara bertanam kearah yang lebih baik.
Ketiadaan
PPL yang dipandang tidak berdampak apa-apa terhadap petani diamini oleh
Suharto, Ia menyadari tanpa PPL petani masih dapat melakukan kegiatan taninya.
“Jangankan nanti cuma enggak ada penyuluh, nggak ada Dinas Pertanian atau
Menteri Pertanian bahkan Fakultas Pertanian, petani tetap nanem kan?” lugasnya. Namun, lebih lanjut Ia menegaskan, petani
memang bisa cara-cara menaman, tetapi petani dirasa tidak mahir dalam hal lain
seperti cara menghitung efisiensi gabah saat panen, membuat Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok (RDKK), teknologi, kebutuhan pupuk, mencermati
agroklimatologi, dan mengetahui masa kemasakan gabah padi. “Kita yang enggak
punya tanaman mampu melihat itu, karena kita punya ilmunya,” jelasnya.
Menurut
Johari, faktanya PPL masih menjadi tempat mengadu petani dalam permasalahan
pertanian apapun. “Kalau ada masalah distribusi pupuk kan harusnya ke Kemendag,
kalau masalah kurang air ya ke Dinas Perairan, masalah hama ya ke Laboratorium
Pestisida, tapi itu semua malah ke penyuluh,” tuturnya.Mustahil jika petani
tidak membutuhkan peran PPL dalam bertani. Jika PPL kurang berperan, tambah
Johari tidak mungkin ada penilaian PPL teladan dan THL teladan. Bahkan, jika
PPL dirasa kurang dalam mengemban tugasnya, seharusnya tidak ada penilaian desa
teladan. Seperti salah satu desa teladan di Banyumas yakni Desa Karanglewas. “Petani
yang bilang enggak butuh penyuluh, itu bohong,” ungkap Jujun, salah satu
penyuluh teladan Banyumas yang mengantarkan Desa Karanglewas menjadi desa
teladan. (27/7).
Posting Komentar
Silahkan berkomentar di situs persma-agrica.com