Kita semua berdiri segaris, dibalik
garis kuning yang memisahkan antara keinginan dan takdir. Kita semua berdiri di
garis yang sama dibawah terpaan sinar matahari pagi yang siap membawa kita
menuju waktu yang terbatas. Harapan
adalah hadiah untuk jadi sempurna.
***
“Hey
nak, cobalah kau lihat sejenak di seberang sana!” seru paman tua yang telah
menjadi tetanggaku selama 20 tahun. Sejenak sepersekian detik langsung ku tahu
maksud nya itu.
“Sudah
kuperhatikan sejak 10 tahun ini kakek tua itu tetaplah duduk menunggu disana
seperti singgasananya nya saja itu. Mana banyak orang yang mau membeli papan
tulis triplek itu, sudah berat dan sampai rumah pun hanya tergantung saja,
karena anak-anak kita lebih suka bermain. Tahu kah kau apa keanehannya lagi?”
tutur paman tua itu seakan angin lah yang membawa berita dan berbisik
kepadanya..
“Apakah
kakek itu selalu bertanya kepada orang yang membeli apakah mereka melihat
cucunya itu? Kakek itu pun tak lupa memberikan amplop merah kepada setiap
pembeli, entahlah aku tak pernah tahu apa isinya paman.” kata ku dengan air
muka menahan penasaran. Paman kemudian menggeleng dan menyelipkan kedua
tangannya ke kedua saku jaketnya yang terbuat dari wol. Sesaat aku sadar bahwa
malam mulai menyergap.
“Terlalu
cepat kalau kita menyimpulkan sesuatu tentang perilaku orang dan kebiasannya
dalam pengamatan sebelah mata. Kenangan patut untuk dibagi dalam porsinya dan
sesuatu yang dihayalkan pada intinya adalah harapan yang belum
sempurna.” Ujar paman sambil menyeruput bajigur yang sudah mulai dingin. Aku
hanya mangut-mangut dibuatnya.
“Apa
yang luar biasa hari ini Nak?” seru Ibu. Menurut ayah ini adalah awalan cara
investigasi ampuh untuk menjawab rasa
ingin tahu.
“Luar
biasa Bu, Alhamdulillah, allahhu akbar!” seruku tiba-tiba semangat.
***
Di desa kami ada sungai dengan tujuh mata air
dengan satu di setiap puncaknya. Lantas itu seperti undakan yang memisahkan dan
memberi jarak diantaranya. Kami kaum muda lebih suka bermain air di bagian atas
dan nampak di bawah kaum tua yaitu ibu dan bapak kami memperingatkan kami
supaya hati-hati dan sesekali melambaikan tangannya. Ah, aku jadi merasa sangat
menyesal sekarang, kenapa tak ku ajak ayah dan ibu ku untuk naik, bukankah aku
muda dan lebih kuat? Akan kah lebih baik jika sama-sama mengangkat?
“Apa
yang kau persiapkan untuk keberangkatanmu minggu depan?” tanya ayah tiba-tiba
dibalik koran pagi yang sedang dibacanya. Ayah selalu menyisihkan uangnya untuk
berlangganan koran setiap hari, sekalipun ia harus menahan untuk tidak memboroskan
uang diluar dan memberikan tumpukan koran padaku di akhir minggu. Supaya aku
pintar katanya.
“Tidak
banyak Yah. Aku kan hanya pergi sekolah ke luar kota dan insya allah aku pulang
kalau ayah dan ibu rindu padaku,” ah, tiba-tiba saja ada emosi aneh di hati ini
dan mata ini serasa begitu panas. Jangan sekarang Tuhan, aku mohon.
“Ah
ya, ayah pasti tak habis pikir terlalu memikirkan putri ayah yang sudah mulai
dewasa ini. Ayah hanya tak sampai hati kalau kamu disana tidak baik-baik saja,”
tutur ayah sambil berdiri menatap halaman tempat kami bermain waktu aku kecil.
Tiba-tiba ayah menjadi sangat tua dalam pandanganku.
“Aku
baik-baik saja yah, asal ayah dan ibu terus mendoakanku.” ujarku tulus. Aku
pikir dulu ayah adalah seorang pembohong yang jarang pulang karena bertugas.
Tapi sekarang, bagiku ayah ku bukanlah seorang pembohong. Kami hanya
bertatapan, cukup lama.
***
Ada
kejadian sebelum aku berangkat, temanku sejak kecil Aisyah yang sangat pemalu
dan sampai saat ini cuma dia yang tak pernah bercerita tentang siapa yang dia
sukai. Tiba-tiba ia memberiku sebuah amplop pink cantik bertuliskan namanya
dengan seorang pria yang tak ku kenal. Aisyah terus memandangku seakan menunggu
ekspresi apa yang akan kutunjukan.
“Apakah
tanggal nya tidak salah? Apa kamu yang dulu sudah sembuh? “ tanyaku menghujat
tajam ke pelupuk mata bulat itu.
“A...
apa maksudmu aku sudah sembuh?dan apa yang salah dengan tanggalnya?Maafkan aku,
aku tak...”
“Bagaimana
bisa hal ini tak kau katakan sebelumnya? Ah pasti ada yang salah sampai-sampai
ayah dan ibu memintaku kesini. Sebenarnya kau anggap apa aku ini?” kataku
sambil meletakkan pinggang dan emosi yang tertahan membuat mataku panas. Aisyah
memelukku erat, meminta maaf dengan berlinang air mata, sebelum ia memohon aku
langsung meletakkan telunjuk ku di bibir nya.
“Sssstt...sudah,
hahahaha hey bukan kah kita ini teman yang punya banyak rahasia,kau kan sama
denganku. Aku yakin itu pilihan mu yang berharga. Setiap orang harus memilih,
tidak ada yang tidak. Sebelum kau putuskan untuk tidak memilih pada dasarnya
kau telah memilih. Semoga kamu bahagia ya sahabatku,” aku yang daritadi
pura-pura akting tak kuasa untuk memeluknya erat.
***
Aku
sudah berdiri tepat di seberang jalan tempat kakek tua itu menggelar
dagangannya. Tempat ini haruslah aku datangi sebelum aku berangkat esok hari.
Seperti biasa selalu lengang dan sepi pembeli dibawah rindangnya pohon mahoni
yang sudah tua pula.
“Ada
yang bisa kakek bantu nak?” tanya kakek itu dengan wajah ramah menyambutku.
“Ah,
ya kakek sudah lama ya jualan di sekitar sini?”tanya ku basa basi sambil terus
memperhatikan kakek itu. Kakek lalu memberiku tempat duduk dari plastik
disamping tempat duduk miliknya.
“Mungkin
sudah sekitar 10 tahun ini kakek ikut berjualan disini Nak. Mungkin orang-orang
beranggapan sama, ya hampir semua menanyakan hal yang sama.” ujar kakek dengan
sorot matanya yang sayu masih menatap jalanan berdebu di siang hari itu.
“Apakah
kakek disini ada keluarga?” tanyaku sedikit ragu-ragu.
“Ya,
dulu ada ayah mertua kakek yang tak lain ayah dari istri kakek. Tapi sekarang
sudah tidak ada. Semua sudah kembali kepada Tuhan.” nada suara nya tiba-tiba
bergetar namun kakek tidak menangis atau semacamnya.
“Oh
begitu, maaf kek aku sudah bertanya tentang itu dan membuat kakek sedih,”ujarku
merasa tak enak.
“Sudah
lah tak apa-apa nak , itu fakta dan tak bisa diubah. Kakek hanya bisa berdoa
semoga mereka mendapat tempat di sisi Nya” ujar Kakek sampil menepuk bahuku.
“Amiin
Kek. Oh ya Kek, kenapa kakek berjualan papan tulis? Ini kan cukup berat” kata
ku penasaran. Kakek menarik nafas panjang untuk kemudian berkata.
“Baiklah,
coba ku ceritakan pada mu nak. Kakek menunggu cucu Kakek yang pergi ke luar
kota untuk belajar namun tak kunjung kembali. Kakek dan cucu Kakek dulu
mengajar anak-anak kecil di tanah atas di ujung sana. Papan tulis ini adalah
hadiah pertama yang Kakek beri.” Ujar Kakek dengan suara berat dan berulang
kali mengambil nafas panjang. Jadi Kakek ini kesepian rupanya kataku dalam
hati. Saat pamit, Kakek memberi ku amplop merah.
“Bukalah
amplop ini saat kamu benar-benar ingin membukanya” ujar Kakek sambil tersenyum.
“Terimakasih
Kek” ujarku tulus.
Ayah
pun demikian sebelum aku pamit dia menyelipkan amplop berwarna coklat kepadaku.
“Bukalah
amplop itu kalau kamu merasa beruntung Nak” ujar Ayah sebelum aku pergi.
***
Menyusuri
jalan pedesaan nampaknya lebih menyenangkan daripada bersepeda dipinggir
pantai,lebih menyenangkan tak ada yang membuatmu tenggelam dalam lautan
perasaan, dan tak ada pembicaraan membosankan. Bis yang kutumpangi tidak bisa
masuk sehingga aku harus berjalan untuk sampai rumah. Untunglah siang belum
menjemput.
“Bagaimana
harimu disana nak? Apakah yang ayah ibu berikan cukup? Ibu senang sekali kamu
pulang nak” ujar Ibu sambil memelukku.
“Tentu
Bu disana sangat menyenangkan. Disana aku baik-baik saja,itu semua karena ayah
dan ibu juga” ujarku.
“Syukurlah
Nak, biar Ibu panggilkan Ayah mu” ujar ibu lalu segera masuk ke rumah. Lalu
ayah muncul dibalik pintu.
“Anak
ayah sudah pulang rupanya, ayah senang kamu pulang, kemarin ayah sampai bilang
Pak RT kamu pulang hari ini” ujar ayah sambil memelulkku.
“Ah
Ayah ini masa sampai bilang Pak RT. Aku juga senang melihat Ayah dan Ibu
baik-baik saja. Apakah ayah tahu kabar Kakek penjual papan tulis itu?” ujar ku
tiba-tiba karena penasaran.
“Tentu
saja Kakek itu masih berjualan disana Nak” ujar Ayah cepat.
Kami
pun mengobrol di gazebo cukup lama untuk melepas rindu. Aku menatap matahari
jingga yang segera menutupkan matanya di ufuk barat. Di tanganku sudah
tergenggam dua amplop dari Kakek dan Ayah. Kulipat lagi lembaran amplop yang ku
baca dan kusimpan rapat.
“Terimakasih
untuk tetap hidup” finally itulah
kata yang terucap.
Oleh : Putri Tresna (Agrica 2010)
Posting Komentar
Silahkan berkomentar di situs persma-agrica.com